Suatu hari, ada seorang santri yang gelisah terkait makna zuhud, sehingga santri ini memberanikan diri bertanya kepada Sang Guru,
“Kiai, apa yang dimaksud
zuhud dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin?” tanya santri penuh penasaran.
“Kamu belum paham ya?” Sang guru balik bertanya.
“Belum, Kiai,” jawab santri.
“Sekarang kamu ke sana. Itu ada bak mandi, kamu isi sampai penuh ya,” perintah Sang Guru.
“Injeh, Kiai. Siap!,” jawab santri dengan intonasi manthab.
Santri itu kemudian mengisi dua bak mandi besar yang ada di situ. Santri itu menimba air dari sumur yang tak jauh dari bak mandi. Karena begitu penasaran dengan makna zuhud, santri ini tidak terasa sudah mengisi secara penuh bak mandi itu. Capek, tentu saja. Tapi itu tak dirasakan sedikitpun oleh santri itu.
“Sudah selesai, Kiai. Dua bak mandi sudah penuh semua.” Santri itu melaporkan tugasnya kepada Sang Guru.
“Kamu capek atau tidak?” tanya Sang Guru.
“Injeh, Kiai, Capek, tapi saya senang, Kiai,” jawab santri dengan tetap riang gembira.
“Ya sudah. Sekarang kamu mandi dulu ya. Habis mandi, nanti ke rumahku ya,” tegas Sang Guru.
“Injeh, Kiai. Nderek'aken Dawuh,” jawab santri.
Karena merasakan capek yang sangat, santri itu bergegas mandi ingin menikmati segarnya air yang sudah diambil dari sumur. Begitu nikmat ia mandi, sehingga ia tersadar untuk segera sowan kepada Sang Guru.
Setelah ganti baju yang pantas, santri itu bergegas sowan.
“Sudah rampung mandinya?”
“Sudah, Kiai.” Jawab santri dengan gembira.
“Airnya kamu habiskan?” tanya Sang Guru.
“Ya tidak, Kiai. Saya gunakan secukupnya saja.” Jawab santri.
“Itulah zuhud wahai, anakku. Carilah
harta sebanyak-banyak, tapi gunakan harta itu secukupnya saja. Sisanya biar dimanfaatkan untuk keperluan orang lain yang membutuhkan.” Tegas Sang Guru dengan sederhana.
Santri itu kaget dan terpana dengan jawaban sederhana dari Sang Guru yang sangat dihormatinya itu. Tanpa perlu dalil-dalil dan tanpa kalimat berbahasa Arab yang fasih, Sang Guru memberikan jawaban yang sangat tepat bagi santri itu.
Komentar
Posting Komentar