PTBU



PTBU

Sebatang pena di ujung jari, beberapa lembar kertas putih, menunggu untuk dihiasi. Sudah hamper satu jam, aku hanya diam, ide seakan menghilang,hingga belum satu katapun tertuliskan, beberapa kertas putih, sejauh ini masihg tetap putih.
Sejenak kutarik nafas panjang, sambil kuamati keadaan sekitar. Segelas kopi pahit yang tadi aku buat, kini Nampak hanya menyisakan ampas. Detik jam terdengar jelas, kuluhat ternyata sudah lewat tengah malam. Beberapa kali aku menguap, penanda kantuk mulai mendekap. Hingga akhirnya akupun terlelap.
*****
Praaaaaaaaaak!!!
Sebuah tamparan keras, mendarat di pipi kiriku, yang sakitnya terasa sampai keulu hati. “ Ada apa?...”, protesku dalam diam, dengan mata yang melotot tajam. Sebuah sikap yang mereka artikan sebagai perlawanan. Hingga mereka bertiga serentak memukulku, tanpa aku bisa melawan. “kamtib kurang aja, apa salahku?, kenapa kalian memukulku?...”, rintihku, sambil mengusap leleran darah di ujung bibir kiri dan kanan. Seketika itu, salah seorang diantara mereka, yang berbadan paling besar, melempar lembar kembar kertas kemukaku, dan dengan sinis mengatakan: “bukankah ini karyamu?, artikel di bulletin TUMPAH edisi keII”, tergesa, ku pungut lembaran lembaran itu, dan memang benar ini bulletin TUMPAH edisi ke II. “iya memang benar, aku yang menulis artikel ini, lalu apa masalahnya? Bukankah sebuah artikel, memang harus ditulis secara obyektif? …”
Praaaaakkk.,.,.,.!
Lagi-lagi sebuah tamparan mendarat dipipiku. “obyektif dengkulmu”, teriaknya. “apa ini yang namanya obyektif?, menyamakan PPBU dengan PTBU?..ini pondok pesantren baru uswah, bukan perseroan terbatas baru uswah” lanjutnya tanpa Jeddah.
Merasa diperlakukan tak adil, kemarahanku pun mulai merambat naik ke ubun ubun, melahap habis rasa takut yang sempat menggunung. Aku berdiri tegak, menuding satu persatu muka meraka, dan dengan penuh amarah ku katakana:
“kalau tujuan utamanya adalah harta?, bukankah layak disebut PT. kalau logikanya adalah untung rugi, titidakkah itu logika PT. kalau logikanya santri dijadikan sumber income. Kalau begitu guru tak ubahnya sebagai sales promosi yang mengobral jani dan nilai. Kalau ijazah bisa ditukar dengan rupiah. Kalau sekolah tak lagi jadi surge. Kalau kejujuran sudah tak lagi diajarkan, kalau kalau kalau.,.,”
######
“kalau, kalau, kalau.,.”
Percikan air, mendadak membangunkan dari tidur, dan kulihat dihadapanku, kyai shilahuddin Nampak tersenyum. “kau mengigau nak.,,.” Jelasnya. Aku hanya menunduk tawadhu’.
“ini udah hamper subuh, kau sudah sholat isya’ apa belum?” Tanya kyai Shilahuddin. “dereng yai” jawabku malu. “ayo nak, kalau githu ndang wudhu, sholat isya’ dulu, setelah itu bangunkan santri santri yang lain untuk sholat tahajud. Dan jangan lupa nanti setelah jama’ah subuh, kita ngaji kitab Riyadus Sholihin.,.,” ingat kyai Shilahuddin. “injeh yai” jawabku sambil beranjak mengambil air wudhu.

“untung yang tadi hanya mimpi”. Batinku dalam hati.
“PPBU, I love you full”  

by. BS. Pembina Komunitas Pena  "KOMA"

Komentar