TERBANYAK

10.001 KM – Bergerak dan Menggerakkan

Perjalanan ini penuh dengan cerita suka dan duka yang datang dari sahabat saya, ya betul, beliau adalah Bapak Damanto. Beliau mulai menorehkan tinta perjuangannya di wadah ini pada tahun 2019, bersama dengan saya. Sebelum benar-benar masuk ke dalam dunia perjuangan ini, kami terlebih dahulu ditempa dalam sebuah tes selama dua hari satu malam, di tempat dan suasana yang sama. Dari sana, kami melangkah membawa cerita masing-masing, menapaki perjalanan dengan sejarah yang berbeda. Bapak Damanto memulai kariernya sebagai seorang marketing, sementara saya berangkat dari posisi koordinator. Begitulah takdir mengatur jalan kami. Berkat kegigihan dan keseriusan beliau dalam menjalankan amanah, Alhamdulillah, kami akhirnya dipertemukan di posisi yang sama memulai babak baru bersama. Sejak itu, kami berusaha meninggalkan jejak perjalanan yang tidak hanya diukur oleh kilometer, tetapi juga mampu memberi semangat kepada siapa pun yang melewatinya. Setiap langkah, setiap pergerakan, menjadi...

8.000 KM: Jejak Langkah, Air Mata, dan Kebangkitan

 




Perjalanan ini bukan sekadar perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Ini adalah perjalanan jiwa perjalanan spiritual—sejauh 8.000 kilometer—yang menyisakan banyak air mata, diam-diam penuh luka, dan begitu banyak kejadian yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ada hal-hal yang tak bisa saya ungkapkan di sini, tapi biarlah hati yang mencatatnya dan waktu yang membimbing untuk memahaminya.

Setiap peristiwa di sepanjang perjalanan menjadi cermin untuk bermuhasabah. Ada pelajaran hidup yang begitu dalam, pelajaran yang tak bisa dibeli, hanya bisa dijalani. Saya dipaksa untuk belajar melepaskan... belajar melupakan sesuatu yang setiap kali terlihat, selalu membawa ingatan yang pedih. Rasanya berat, tentu saja. Tapi hidup memang tak selalu memberi waktu untuk siap.

Kadang, kita tak bisa mengembalikan sesuatu ke kondisi semula. Seperti cermin yang pecah—meski bisa direkatkan kembali, tetap tak akan utuh seperti sebelumnya. Begitu pula dengan hati, prinsip, dan harga diri. Sekali retak, perlu waktu dan kebesaran jiwa untuk kembali berdiri tegak. Tapi justru di situlah nilai sebuah prinsip: ia diuji dalam keretakan, bukan dalam kenyamanan.

Saya belajar bahwa memiliki prinsip dan harga diri bukan sekadar pilihan, tapi kebutuhan. Keduanya menjadi fondasi untuk tetap berintegritas—melakukan sesuatu bukan karena ingin terlihat hebat, tapi karena ingin menjadi manusia yang bermanfaat. Yang hadir membawa kontribusi, bukan sekadar eksistensi.

Perjalanan ini mengajarkan bahwa bertahan bukan berarti lemah. Kadang, bertahan pada sesuatu yang tampak salah di mata orang lain justru adalah kekuatan—karena hanya kita yang benar-benar tahu alasan di baliknya. Biarlah orang menilai. Itu hak mereka. Tapi kita juga punya hak untuk terus berjalan. Keep going. Karena hidup akan menemukan jalannya sendiri. Takdir tak pernah tertukar.

Semoga setiap kilometer perjalanan ini menjadi saksi bahwa saya sedang belajar... belajar menerima, belajar menguatkan diri, dan terus berharap pada ampunan serta pertolongan Allah SWT. Semoga semua ini bermuara pada ridha-Nya.
Aamiin.


Komentar