TERBANYAK

10.012 KM

  10.012 KM, perjalanan yang tidak mudah, perjalanan yang penuh dengan lika liku, tapi saya sadar bahwa hidup ya harus seperti itu biar bermakna dan berkesan. Angka, iya betul. Angka 12 adalah tanggal dimana saya lahir di bumi pertiwi ini, tiba tiba saya teringat dengan tulisan saya 10 tahun yang lalu. Langsung saja ini adalah tulisan saya yang masih saya simpan di memori laptop Suara katak yang terdengar merdu malam itu menemani kesendirianku. Aku melirik jam dinding di kamar pondok, dan oh tidak jarum pendeknya sudah menunjuk angka tiga dini hari. Namun, mata ini masih saja enggan terpejam, seolah ada sesuatu yang menghalangi. Aku duduk seorang diri di kamar kenangan itu. Di hadapanku tergeletak sebuah laptop usang yang dulu begitu setia menemaniku saat menyelesaikan studi di salah satu universitas di Surabaya. Malam yang sunyi membuat tanganku gatal untuk kembali membuka laptop itu. Sejenak aku menarik napas panjang, menatap sekeliling. Teman sekamarku sudah tertidur pulas,...

8.000 KM: Jejak Langkah, Air Mata, dan Kebangkitan

 




Perjalanan ini bukan sekadar perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Ini adalah perjalanan jiwa perjalanan spiritual—sejauh 8.000 kilometer—yang menyisakan banyak air mata, diam-diam penuh luka, dan begitu banyak kejadian yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ada hal-hal yang tak bisa saya ungkapkan di sini, tapi biarlah hati yang mencatatnya dan waktu yang membimbing untuk memahaminya.

Setiap peristiwa di sepanjang perjalanan menjadi cermin untuk bermuhasabah. Ada pelajaran hidup yang begitu dalam, pelajaran yang tak bisa dibeli, hanya bisa dijalani. Saya dipaksa untuk belajar melepaskan... belajar melupakan sesuatu yang setiap kali terlihat, selalu membawa ingatan yang pedih. Rasanya berat, tentu saja. Tapi hidup memang tak selalu memberi waktu untuk siap.

Kadang, kita tak bisa mengembalikan sesuatu ke kondisi semula. Seperti cermin yang pecah—meski bisa direkatkan kembali, tetap tak akan utuh seperti sebelumnya. Begitu pula dengan hati, prinsip, dan harga diri. Sekali retak, perlu waktu dan kebesaran jiwa untuk kembali berdiri tegak. Tapi justru di situlah nilai sebuah prinsip: ia diuji dalam keretakan, bukan dalam kenyamanan.

Saya belajar bahwa memiliki prinsip dan harga diri bukan sekadar pilihan, tapi kebutuhan. Keduanya menjadi fondasi untuk tetap berintegritas—melakukan sesuatu bukan karena ingin terlihat hebat, tapi karena ingin menjadi manusia yang bermanfaat. Yang hadir membawa kontribusi, bukan sekadar eksistensi.

Perjalanan ini mengajarkan bahwa bertahan bukan berarti lemah. Kadang, bertahan pada sesuatu yang tampak salah di mata orang lain justru adalah kekuatan—karena hanya kita yang benar-benar tahu alasan di baliknya. Biarlah orang menilai. Itu hak mereka. Tapi kita juga punya hak untuk terus berjalan. Keep going. Karena hidup akan menemukan jalannya sendiri. Takdir tak pernah tertukar.

Semoga setiap kilometer perjalanan ini menjadi saksi bahwa saya sedang belajar... belajar menerima, belajar menguatkan diri, dan terus berharap pada ampunan serta pertolongan Allah SWT. Semoga semua ini bermuara pada ridha-Nya.
Aamiin.


Komentar