TERBANYAK

10.012 KM

  10.012 KM, perjalanan yang tidak mudah, perjalanan yang penuh dengan lika liku, tapi saya sadar bahwa hidup ya harus seperti itu biar bermakna dan berkesan. Angka, iya betul. Angka 12 adalah tanggal dimana saya lahir di bumi pertiwi ini, tiba tiba saya teringat dengan tulisan saya 10 tahun yang lalu. Langsung saja ini adalah tulisan saya yang masih saya simpan di memori laptop Suara katak yang terdengar merdu malam itu menemani kesendirianku. Aku melirik jam dinding di kamar pondok, dan oh tidak jarum pendeknya sudah menunjuk angka tiga dini hari. Namun, mata ini masih saja enggan terpejam, seolah ada sesuatu yang menghalangi. Aku duduk seorang diri di kamar kenangan itu. Di hadapanku tergeletak sebuah laptop usang yang dulu begitu setia menemaniku saat menyelesaikan studi di salah satu universitas di Surabaya. Malam yang sunyi membuat tanganku gatal untuk kembali membuka laptop itu. Sejenak aku menarik napas panjang, menatap sekeliling. Teman sekamarku sudah tertidur pulas,...

CERITA CPNS TAHUN 2019




 Bab 1 – Bayangan di Awal Tahun

Awal tahun 2019.
Langit cerah, tapi hati saya terasa mendung.

Beranda Facebook saya penuh dengan kabar bahagia: foto sahabat mengenakan seragam putih, tulisan ucapan syukur panjang, emotikon menangis haru, hingga pasangan yang saling menandai satu sama lain. Semua sama: mereka lulus CPNS 2018.

Saya membaca satu per satu. Ada rasa ikut bangga. Tapi, ada juga perasaan lain yang diam-diam menusuk. Kapan giliran saya? Bisakah saya juga berdiri di sana, mengenakan seragam kebanggaan itu?

Tanggal 15 Januari 2019, pengumuman seleksi CPNS Kementerian Agama keluar. Formasi tahun itu cukup banyak. Hati saya berdesir. Saya pun mendaftar formasi guru Fiqih. Padahal, jika ditanya jujur, saya bukan guru. Saya tidak pernah mengajar. Passion saya pun bukan di situ. Tapi bayangan tentang gaji tetap, jaminan pensiun, status sosial, dan rasa aman untuk keluarga membuat saya mengabaikan semua keraguan.

"Siapa tahu ini jalanku… siapa tahu ini rezekiku," bisik saya waktu itu.

 

Bab 2 – Perjalanan ke Surabaya

Hari ujian tiba. Saya berangkat ke Surabaya dengan semangat yang bercampur gugup. Hotel Empire Palace menjulang megah, seolah menjadi gerbang takdir.

Sejak satu jam sebelum ujian, ratusan peserta sudah memadati depan pintu. Wajah mereka serius, mata penuh harap. Saya mencari nama saya di antara ribuan peserta. Ketemu. Nomor meja itu kini jadi identitas saya.

Saya kira setelah registrasi langsung ujian. Ternyata tidak. Prosesnya panjang, berlapis-lapis, seperti menembus benteng besar.

Registrasi.
Naik eskalator—pemeriksaan pertama.
Naik lagi—pemeriksaan kedua, lebih ketat: sabuk, cincin, jam tangan semua harus dilepas.

"Ya Allah… ini tes CPNS atau pemeriksaan imigrasi?" batin saya, mencoba menenangkan diri.

Kami diarahkan ke lantai lain. Di sana, peserta duduk bersila rapi di lantai, seperti prajurit menunggu komando. Hening. Tegang. Suasana itu menekan dada saya.

Akhirnya, nama saya dipanggil.

 

Bab 3 – Pertempuran di Ruang CAT

Pintu terbuka. Dan di depan saya terbentang ruangan luas, ratusan laptop berjajar rapi. Cahaya layar mereka seperti bintang yang menunggu disentuh. Inilah arena.

Saya duduk. Keyboard terasa dingin. Username dan password saya ketik perlahan. Layar terbuka.

Soal pertama muncul.

Dan tiba-tiba dunia seperti berputar. Tulisan di layar kecil sekali. Mata saya kabur, kepala pusing. Ya Allah… bagaimana saya bisa menjawabnya?

Saya menarik napas panjang, mencoba fokus. Tapi setiap huruf seperti menari di depan mata. Waktu berjalan cepat, pikiran saya buyar.

Ketika akhirnya saya menekan tombol “selesai,” layar menampilkan hasilnya. Angka-angka yang muncul jelas: nilai saya di bawah rata-rata.

 

Bab 4 – Refleksi

Saya keluar ruangan dengan langkah berat. Di sekitar saya, ada peserta yang tersenyum lega, ada yang berwajah murung. Saya hanya diam.

Di dalam hati, saya tahu jawabannya: saya gagal.

Tapi semakin saya renungkan, saya sadar… kegagalan ini bukan kebetulan. Saya gagal karena sejak awal saya berjalan di jalur yang salah. Saya mendaftar CPNS bukan karena panggilan hati, tapi karena tergoda bayangan status. Saya ingin sesuatu yang bukan jalan hidup saya.

Saya bukan guru. Saya tidak pernah mengajar. Passion saya bukan di sana. Bagaimana mungkin saya bisa sukses di tempat yang bukan milik saya?

Saat itu saya tidak menyesal karena gagal. Saya menyesal karena memaksakan diri masuk ke jalur yang bukan untuk saya.

 

Bab 5 – Semua Itu Rezeki

Banyak orang berkata, “Mungkin belum rezeki.”
Tapi saya belajar, tidak lulus CPNS pun adalah rezeki.

Masih bisa berkumpul dengan keluarga—itu rezeki.
Masih bisa berjualan, berkarya, menekuni hal yang saya sukai—itu rezeki.
Masih bisa bebas memilih jalan hidup saya sendiri—itu juga rezeki.

Siapa tahu, kegagalan ini justru pintu menuju kesuksesan yang lebih besar. Siapa tahu, jalan saya bukan di balik meja ASN, tapi di jalan lain yang bisa membuat saya lebih bermanfaat.

Dan sejak saat itu, saya berhenti berkata “belum rezeki.”
Karena setiap hal yang terjadi dalam hidup ini, sekecil apa pun, adalah rezeki—dan tugas kita hanyalah mensyukurinya.

Kegagalan bukan akhir. Ia hanya sebuah tanda jalan: bahwa ada pintu lain, lebih indah, lebih besar, yang menunggu untuk kita buka.

 

 

 

Bab 6 – Titik Balik

Malam itu, setelah pulang dari Surabaya, saya duduk sendirian di kamar. Lampu temaram, pikiran berkecamuk. Kertas-kertas pendaftaran masih tergeletak di meja, seolah menatap saya dengan tatapan kosong.

"Untuk apa semua ini? Waktu habis, uang habis, tenaga habis… dan hasilnya nihil," bisik hati saya.

Ada rasa ingin marah, tapi tidak tahu kepada siapa. Mau menyalahkan pemerintah? Tidak adil. Menyalahkan panitia? Tidak tepat. Menyalahkan diri sendiri? Itu yang paling benar.

Namun di balik rasa kecewa itu, ada sesuatu yang pelan-pelan menyentuh hati saya. Seperti bisikan halus yang mengingatkan:

“Bukan jalan ini yang dipilihkan untukmu.”

Saya termenung. Ya, mungkin benar. Ini bukan jalan saya.

 

Bab 7 – Menemukan Cahaya

Hari-hari setelah itu, saya mencoba kembali ke rutinitas. Bekerja di perusahaan, pulang, lalu scroll media sosial. Lagi-lagi, kabar teman-teman yang lolos CPNS memenuhi layar. Tapi kali ini, saya membaca dengan perasaan berbeda.

Saya mulai bertanya pada diri sendiri:
"Apa sebenarnya yang aku inginkan? Apakah sekadar seragam? Apakah sekadar gaji tetap? Atau aku butuh sesuatu yang lebih dari itu?"

Pertanyaan itu membawa saya pada sebuah kesadaran. Saya suka berinteraksi dengan orang, saya suka berdagang, saya suka mencari peluang. Dan setiap kali saya melakukan itu, hati saya justru lebih bahagia dibanding duduk di kursi kantor.

Sejak saat itu, saya mulai melirik hal-hal kecil yang bisa saya lakukan. Berjualan makanan ringan, membantu teman berbisnis, mencoba menulis pengalaman. Rasanya ringan, mengalir, tanpa tekanan.

Saya mulai paham: passion saya bukan di balik meja ASN, melainkan di jalan lain yang penuh tantangan dan kreativitas.

 

Bab 8 – Mengubah Luka Jadi Kekuatan

Suatu malam, saya menuliskan perjalanan saya mengikuti tes CPNS. Awalnya hanya untuk catatan pribadi. Tapi ketika saya unggah di media sosial, tak disangka banyak yang membaca, banyak yang merasa relate, bahkan ada yang berterima kasih.

"Mas, saya juga gagal tes tahun kemarin. Setelah baca tulisanmu, saya jadi semangat lagi."

Pesan-pesan seperti itu berdatangan. Hati saya bergetar. Ternyata kegagalan saya bisa menjadi kekuatan bagi orang lain.

Dari sana, saya belajar satu hal:
Setiap luka, jika diceritakan dengan jujur, bisa menjadi obat untuk orang lain.

 

Bab 9 – Jalan Baru

Hari-hari saya kini terasa berbeda. Saya tidak lagi sibuk mengejar bayangan seragam, tapi fokus mencari jalan saya sendiri. Saya berani mencoba hal-hal baru: berjualan, menulis, bahkan merintis usaha kecil-kecilan.

Ternyata, rasa lelahnya sama. Tapi ada satu hal yang berbeda: hati saya lebih tenang. Saya tidak lagi merasa terpenjara oleh status sosial. Saya bebas mengekspresikan diri, bebas menentukan arah.

Dan perlahan saya percaya, inilah rezeki saya. Bukan angka di layar CAT, tapi keberanian untuk menemukan jalan yang sesuai dengan jiwa saya.

 

Bab 10 – Pelajaran dari Gagal CPNS

Kini, setiap kali ada orang berkata, “Mungkin belum rezeki,” saya hanya tersenyum. Karena saya tahu, rezeki tidak selalu berbentuk PNS. Rezeki bisa berupa kesehatan, kebebasan, keluarga, atau peluang kecil yang membawa kebahagiaan.

Saya tidak menyesali kegagalan itu. Karena tanpa kegagalan, saya tidak akan menemukan siapa diri saya sebenarnya.

Kegagalan itu bukan titik akhir. Justru di situlah jalan baru saya dimulai.

 

Komentar