Dahulu tempat itu menjadi rumah kedua, banyak pengorbanan yang dilakukan di sana, malam berubah menjadi siang, pagi menjadi siang, dan sore tetap bertahan dalam perenungan. Waktu berlalu dengan cepat dan tak terkendali, situasi berubah, semua di luar kemampuan saya sebagai manusia yang jauh dari kesempurnaan. Kini, entah mengapa melihatnya saja mata tak sanggup, melangkah masuk ke sana pun kaki enggan bergerak, keinginan untuk mendekat pun seolah telah sirna, bagaimana bisa demikian? Siapa yang tahu? Namun, saya yakin bahwa "ini akan berlalu".
Rasa malu, salah satu alasan mengapa tubuh ini enggan untuk dipaksakan ke sana, bagian rahasia yang sengaja tertutup tanpa disadari terbuka dengan sendirinya. Tersebar luas terbawa angin puting beliung, merusak fondasi prinsip dan kepercayaan.
Setiap pengalaman yang kita hadapi harus kita sikapi dengan cara yang positif. Karena hidup ini 20% merupakan bagaimana kita bertindak dan 80% bagaimana kita menyikapinya. Akhirnya, inna ma'al usri yusra yang berarti: "Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan," motivasi dari Allah inilah yang senantiasa tertanam dalam hati.

Bulan Juni telah mencapai 50%, dan saya mengucapkan syukur atas segala nikmat yang telah dianugerahkan. Saya telah menempuh perjalanan lebih dari 5.000 km selama menjalani sesuatu yang tak terduga ini sejak bulan Januari, dan kehidupan ini memang merupakan pelajaran, di mana setiap pelajaran tersimpan dalam setiap kilometer yang dilalui. Demikianlah pola hidup yang saya coba terapkan. Saya terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik dan senantiasa percaya bahwa banyak hal tak terduga akan datang pada waktu yang tidak terduga. Saya berusaha berdamai dengan risiko-risiko yang telah saya ketahui, serta berdamai dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan. Saya mencoba menikmati apa yang ada, memberikan yang terbaik, dan membiarkan kepribadian terbentuk dengan sendirinya. Saya mengucapkan terima kasih dan memohon maaf atas segala kekurangan yang ada.
6.000 kilometer di bulan keenam tahun 2025.
Puji syukur kepada Allah, selalu bersyukur dan terus bersyukur. Setiap kilometer menyimpan cerita dan pelajaran tersendiri. Khususnya pada kilometer ke-6.000, terdapat kisah yang cukup menegangkan. Bayangkan, ketika dalam perjalanan pulang dari acara peningkatan kapasitas di ruang VVIP BMT NU Ngasem Group, tiba-tiba di tengah jalan, tepatnya di hutan antara Kecamatan Malo dan Kecamatan Senori, yang dikenal sebagai Alas Banyurip Malo, lampu depan sepeda motor saya mendadak mati. Penglihatan menjadi gelap, dan saya merasa merinding serta harus melaju perlahan sambil menunggu kendaraan lain melintas. Namun, setelah hampir 4 kilometer, tidak ada juga kendaraan yang melintas.
Tepat sebelum gapura masuk wilayah Banyu Urip, akhirnya ada mobil yang lewat. Puji syukur, saya dapat memanfaatkan penerangannya.
Enam bulan telah berlalu, dan masih ada hal-hal yang belum terpecahkan. Enam bulan, kilometer 6.000. Enam bulan, yang A belum bisa menjadi B. Enam bulan, kilometer 6.000.
Enam bulan, kilometer 6.000. Pintu kesadaran mulai terbuka perlahan. Enam bulan, kilometer 6.000. Entah apa yang dipikirkan orang lain tentang diri saya. Enam bulan, kilometer 6.000. Bersikap acuh, apakah sama dengan tidak berubah? Enam bulan, kilometer 6.000. Saya yakin masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam diri ini.
Terima kasih kepada si hijau, untuk perjalanan 6.000 kilometer ini. Terima kasih karena kemarin di Kecamatan Soko telah memeluk saya di atas aspal yang kasar, terima kasih telah memberikan kasih sayang yang luar biasa hingga membekas di kaki dan tangan, dan terima kasih telah bersedia menemani setiap hari saya.
Apa yang akan terjadi selanjutnya? Semoga yang tak terduga akan menjadi sesuatu yang baik.

Saya sangat meyakini hal tersebut, jika bukan karena "pitulunge gusti Allah," mungkin saya tidak dapat menulis dan berbagi kisah di balik kilometer ke 7.000 ini. Benar, semua berkat "pitulunge gusti Allah."
Tujuh bulan telah berlalu, segala sesuatunya berjalan berkat "pitulunge gusti Allah."
Dunia tidak pernah benar-benar berhenti. Bahkan ketika manusia berhenti bergerak, bumi tetap berputar. Dan di antara perjalanan waktu tersebut, selalu ada seseorang yang memilih untuk "pergi," bukan karena ingin melarikan diri, tetapi karena ingin selalu berada dalam perlindungan dan "pitulunge gusti Allah."
Apa yang telah saya lakukan dan berikan bukanlah hal yang penting. Siapa saya juga tidak penting, bagaimana saya juga tidak penting. Sebab, seberapa penting pun saya, akhirnya tetap menyatu dengan alam (tanah). Namun, yang penting adalah cerita ini: mengenai perjalanan yang tidak pernah saya rencanakan, tetapi harus saya jalani. Bukan demi peta, bukan demi ketenaran, tetapi demi pemahaman, demi sesuatu yang telah mengubah hidup saya, demi sesuatu yang tiba-tiba pergi meninggalkan saya untuk menunggu di tempat abadi.
Derasnya air mata ini merupakan bagian dari cerita perjalanan di kilometer ke 7.000. Mutiara hati, rembulan malam, telah menemukan batas posisi yang ketika dilihat mata, membuat air mata tak bisa dibendung, menjadikan tubuh ini ingin selalu berada di samping mutiara hati rembulan malam, ingin selalu hadir dalam curhatannya. Namun, apa daya saya sebagai manusia biasa, takdir! Saya harus menjalani takdir, berharap selalu mendapatkan "pitulunge gusti Allah," dan saya mendapatkan itu. Alhamdulillah, terima kasih Allah.
Perjalanan ini bukan sekadar perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Ini adalah perjalanan jiwa perjalanan spiritual—sejauh 8.000 kilometer—yang menyisakan banyak air mata, diam-diam penuh luka, dan begitu banyak kejadian yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ada hal-hal yang tak bisa saya ungkapkan di sini, tapi biarlah hati yang mencatatnya dan waktu yang membimbing untuk memahaminya.
Setiap peristiwa di sepanjang perjalanan menjadi cermin untuk bermuhasabah. Ada pelajaran hidup yang begitu dalam, pelajaran yang tak bisa dibeli, hanya bisa dijalani. Saya dipaksa untuk belajar melepaskan... belajar melupakan sesuatu yang setiap kali terlihat, selalu membawa ingatan yang pedih. Rasanya berat, tentu saja. Tapi hidup memang tak selalu memberi waktu untuk siap.
Kadang, kita tak bisa mengembalikan sesuatu ke kondisi semula. Seperti cermin yang pecah—meski bisa direkatkan kembali, tetap tak akan utuh seperti sebelumnya. Begitu pula dengan hati, prinsip, dan harga diri. Sekali retak, perlu waktu dan kebesaran jiwa untuk kembali berdiri tegak. Tapi justru di situlah nilai sebuah prinsip: ia diuji dalam keretakan, bukan dalam kenyamanan.
Saya belajar bahwa memiliki prinsip dan harga diri bukan sekadar pilihan, tapi kebutuhan. Keduanya menjadi fondasi untuk tetap berintegritas—melakukan sesuatu bukan karena ingin terlihat hebat, tapi karena ingin menjadi manusia yang bermanfaat. Yang hadir membawa kontribusi, bukan sekadar eksistensi.
Perjalanan ini mengajarkan bahwa bertahan bukan berarti lemah. Kadang, bertahan pada sesuatu yang tampak salah di mata orang lain justru adalah kekuatan—karena hanya kita yang benar-benar tahu alasan di baliknya. Biarlah orang menilai. Itu hak mereka. Tapi kita juga punya hak untuk terus berjalan. Keep going. Karena hidup akan menemukan jalannya sendiri. Takdir tak pernah tertukar.
Semoga setiap kilometer perjalanan ini menjadi saksi bahwa saya sedang belajar... belajar menerima, belajar menguatkan diri, dan terus berharap pada ampunan serta pertolongan Allah SWT. Semoga semua ini bermuara pada ridha-Nya.
Aamiin.
Pencapaian ini bukan karena saya pintar.
Bukan karena saya rajin belajar.
Bukan karena saya pandai berkomunikasi.
Bukan pula karena kecerdasan yang saya miliki.
Bukan karena saya banyak kenalan.
Bukan karena keberuntungan.
Tidak.
Saya bisa sampai di titik ini semata-mata karena Engkau, ya Allah, masih berkenan menutupi aibku. Segala puji hanya untuk-Mu yang selalu menjaga, membimbing, dan menutup kekurangan hamba-Mu ini. Perjalanan hidup memang tak selalu mulus. Sepanjang jalan, pasti ada yang tak terduga: jalan berlubang, kemacetan, ban bocor, dan rintangan lain.
Setiap perjalanan pun punya titik berhenti, berhenti untuk memulai lagi. Bagi yang menyimpan benci, berhentinya kita mungkin terlihat sebagai kegagalan. Tapi bagi hati yang bersih, berhenti hanyalah jeda sebelum melangkah lebih kuat. Kini menuju kilometer 10.000, saya tidak tahu apa yang akan menanti di sana.
Yang pasti, kebenaran akan selalu menemukan takdirnya sendiri. Bukan berarti kebenaran memihak kita karena sejatinya kebenaran hanya milik Allah SWT. Maka hiduplah dengan tulus, jangan berpura-pura. Pura-pura itu melelahkan.
Kembali soal AIB. Mungkin sebagian orang terdekat tahu apa yang pernah saya alami, bahkan mungkin ada yang berusaha menyebarkan hal negatif tentang saya. Apakah saya khawatir?
Tidak. Karena sebanyak apapun orang tahu aib saya, mereka tidak akan pernah tahu semuanya. Allah yang menutupinya.
Saya hanyalah hamba yang hina. Lantas, apakah itu berarti saya tidak boleh berusaha menjadi pribadi yang lebih baik? Apakah proses memperbaiki diri harus dilakukan dengan mengabaikan harga diri? Tentu tidak. Bagi saya, harga diri itu harga mati.
Alhamdulillah…
Terima kasih, Gusti. Sampai di kilometer 9.000 ini, Engkau masih berkenan menutupi aibku.
Meski masih ada segelintir hamba-Mu yang mengumbar sedikit dari aib itu, tak apa.
Karena yang mereka sebarkan hanya 0,1% sementara 99,9% lainnya Engkau simpan rapat-rapat.
#prinsip
Komentar
Posting Komentar